Jumat, 21 September 2018

Menguasai Prinsip-Prinsip dan Prosedur Penggunan Strategi Pembelajaran


STRATEGI BELAJAR MENGAJAR FISIKA
 “Menguasai Prinsip-Prinsip dan Prosedur Penggunan Strategi Pembelajaran”

Dosen Pengampu :
Drs. M. Hidayat, M.Pd


Nama : Bs. Dita Fitri
Nim : A1C317054
Kelas : Reguler A




PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA
JURUSAN PENDIDIKAN MATERMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2018

A.    Strategi Pembelajaran Induktif
Menurut Warimun dan Murwaningsih (2015: 2) Model pembelajaran induktif Taba termasuk dalam model pembelajaran pemrosesan informasi. Model pembelajaran pemrosesan informasi menekankan pentingnya mendorong individu untuk memahami berbagai persoalan dengan cara mencari pemecahannya, serta mengembangkan pemahaman konsep dan bahasa sebagai alat untuk mengungkapkan persoalan yang dipelajari siswa.
Model berpikir induktif digunakan untuk meningkatkan efektivitas siswa dalam membangun konsep, dan mengembangkan keterampilan untuk menyelesaikan tugas (Joice & Weil, 2011).
Adapun langkah-langkah model pembelajaran induktif Taba adalah:
1.      Proses berpikir dapat dipelajari. Mengajar seperti yang digunakan oleh Taba berarti membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir induktif melalui latihan (practice).
2.      Proses berpikir adalah suatu transaksi aktif antara individu dan data. Ini berarti bahwa siswa menyampaikan sejumlah data dari beberapa domain pelajaran. Siswa menyususn data ke dalam sistem konseptual, menghubungkan poin-poin data dengan data yang lain, membuat generalisasi dari hubungan yang mereka temukan, dan membuat kesimpulan dengan hipotesis, meramalkan dan menjelaskan fenomena.
3.      Mengembangkan proses berpikir dengan urutan yang “sah menurut aturan”. Postulat Taba bahwa untuk menguasai keterampilan berpikir tertentu, pertama seseorang harus menguasai satu keterampilan tertentu sebelumnya, dan urutan ini tidak bisa dibalik..

Sedangkan kegiatan pada tahap pembentukan kosep adalah mengidentifikasi dan menyebutkan satu persatu data yang relevan pada suatu topik atau masalah serta mengelompokkan objek-objek menjadi kategori-kategori yang anggotanya memiliki sifat yang umum. Kegiatan pada tahap interpretasi data, siswa mengidentifikasi/menafsirkan data dan mengembangkan label untuk kategori-kategori tadi sehingga data tersebut bisa dimanipulasi secara simbolis. Sedangkan untuk langkah apikasi prinsip adalah mengubah kategori-kategori tadi menjadi keterampilan atau hipotesis-hipotesis. Oleh karena itu berdasarkan langkah-langkah tersebut penulis melaksanakan pembelajaran model induktif dengan metode eksperimen.
Karakteristik yang dimiliki model pembelajaran induktif adalah:
1.      digunakan untuk mengajarkan konsep dengan menggeneralisasi;
2.      efektif untuk memotivasi siswa dalam pembelajaran;
3.      menumbuhkan minat dan sikap siswa dalam melakukan observasi dan siswa diberi kesempatan untuk aktif; dan
4.      mengembangkan keterampilan proses siswa dalam belajar.
Dalam pembelajaran induktif penyajiannya terbagi atas lima tahap, yaitu: (1) fase pengenalan pelalajaran; (2) fase open-ended; (3) fase konvergen, (4) fase penutup, (5) fase aplikasi
B.     Strategi Pembelajaran Deduktif
Menurut (Ammase, dkk) Pendekatan deduktif merupakan pemberian tentang prinsip-prinsip isi pelajaran, kemudian dijelaskan dalam bentuk penerapannya atau contoh-contohnya dalam situasi tertentu. Pendekataan ini menjelaskan teoritis kebentuk realitas atau menjelaskan hal-hal yang bersifat umum ke yang bersifat khusus Pendekatan deduktif hampir sama dengan expository approach. Tenaga pendidik yang menggunakan pendekatan ini mulai dengan menyebutkan hukum, prinsip, atau generalisasi. Ia mulai dengan membuat penyataan yang berhubungan dengan penemuan yang telah ia lakukan atau tentang informasi yang diperoleh sebelumnya. Kemudian peserta didik diminta menggunakan pernyataan tersebut pada masalah yang dimilikinya Teori yang deduktif adalah memberikan keterangan yang dimulai dari suatu perkiraan atau pikiran spekulatif tertentu kearah data yang akan diterangkan
Pendekatan deduktif merupakan kebalikan dari pendekatan induktif. Pendekatan ini berproses dari umum ke khusus, dari teorema ke contoh-contoh. Teorema diberikan kepada siswa dan guru membuktikan. Selanjutnya siswa diminta untuk menyelesaikan soal-soal yang relevan dengan teorema yang diberikan. Kebaikan pendekatan ini pembelajaran berjalan efisien. Sedangkan kelemahannya, siswa pasif dan siswa akan merasakan sulit dalam memahami teorema dan konsep yang abstrak.Untuk mengeliminasi kelemahan-kelemahan dari masing-masing pendekatan tersebut, tampaknya gabungan dari pendekatan induktif-deduktif
Pembelajaran deduktif terdiri dari lima tahap: (1) Guru mulai dengan kaidah-kaidah konsep (conceot rule) atau pernyataan yang mana dalam pembelajaran diupayakan untuk pembuktiannya, (2) guru memberikan contoh-contoh yang menunjukkan pembuktian dari konsep, (3) guru memberikan pertanyaan kepada siswa untuk mendapatkan atribut/ciri dan bukan esensi dari konsep-konsep, (5) siswa memberikan beberapa katagori dari contoh yang diberikan oleh guru























Sumber
Ammase, dkk. Pendekatan Pembelajaran Deduktif Dan Pembelajaran Induktif Untuk Meningkatkan Keterampilan Bertanya Pokok Bahasan Pemuaian Kelas Vii Smp Negeri 21 Makassar. Jurnal Pendidikan Fisika Vol. 4 No. 2 ISSN 2460-8459.
Warimun dan Munarsi. 2015. Model Pembelajaran Induktif Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Dan Keterampilan Generik Fisika Siswa SMA. Jurnal Penelitian & Pengembangan Pendidikan Fisika. Volume 1 Nomor 1. p-ISSN: 2461-0933. e-ISSN: 2461-1433
Web:




Menguasai Prinsip-Prinsip dan Prosedural Penggunaan Pendekatan Dalam Pembelajaran


STRATEGI BELAJAR MENGAJAR FISIKA
 “Menguasai Prinsip-Prinsip dan Prosedural Penggunaan Pendekatan Dalam Pembelajaran”

Dosen Pengampu :


Drs. M. Hidayat, M.Pd

Nama : Bs. Dita Fitri
Nim : A1C317054
Kelas : Reguler A



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA
JURUSAN PENDIDIKAN MATERMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2018

A.    Pendekatan Kontekstual
Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assesment).
Lima Elemen Belajar yang Konstruktivistik
Menurut Zahorik (1955: 14-22) ada lima elemen yang harus diperhatikan dalam
praktek pembelajaran kontekstual, yaitu :
1) Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge)
2) Pemerolehan pengetahuan baru (acquiring knowledge) dengan cara
mempelajari secara keseluruhan dulu, kemudian memperhatikan
detailnya.
3) Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), yakni dengan
cara menyusun (1) konsep sementara (hipotesis) (2) Melakukan
sharing kepada orang lain agar mendapat tanggapan (validasi) dan atas
dasar tanggapan itu (3) konsep tersebut direvisi dan dikembangkan.
4) Mempraktekan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying
knowledge).
5) Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi
pengembangan pengetahuan tersebut.
Menurut Sanjaya (2008: 255) dalam Jurnal  Rosita, dkk (2015: 546-547) ( Conteks-tual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan proses keterlibatan siswa secara menyeluruh untuk menemukan materi dan menghubungkannya dengan situasi nyata sehari-hari yaitu ling-kungannya, sehingga mendorong sisa dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka. Pendekatan kontekstual bukan hanya mendengarkan dan mencatat, tetapi merupakan proses pencairan pengalaman secara langsung. Melalui proses ini siswa tidak hanya mengem-bangkan aspek kognitif saja, tetapi juga mengembangkan aspek afektif dan psikomotor.  Selain itu Sanjaya (2008: 256) juga mengemukakan bahwa pembelajaran dengan pendekatan Kontekstual (CTL) mempunyai karakteristik sebagai berikut:
1.      Dalam CTL, pembelajaran merupakan proses pengaktifan penge-tahuan yang sudah ada (activiting knowledge;
2.      Pembelajaran yang Kon-tekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh dan menambah penge-tahuan baru (acquiring knowledge);
3.      Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge) artinya pe-ngetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal tetapi untuk dipahami dan diyakini;
4.      Mempraktikkan pengetahuan dan peng-alaman tersebut (applyng knowledge)
5.      Melakukan refleksi (reflecting know-ledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan
Kelebihan pendekatan Kontekstual, antara lain: (1) pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil, karena peserta didik dapat menangkap hubung-an antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata, (2) pembelajar-an lebih produktif dan mampu menum-buhkan penguatan konsep kepada siswa, (3) guru lebih intensif dalam mem-bimbing siswa, karena guru tidak lagi berperan sebagai pusat informasi me-lainkan pengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk me-nemukan pengetahuan dan keterampilan yang baru bagi siswa, (4) guru mem-berikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan mengajak siswa meng-gunakan strategi mereka sendiri untuk belajar.
Selain itu adapun kekurangan pendekatan pembelajaran Kontekstual antara lain; dalam pemilihan informasi atau materi di kelas didasarkan pada kebutuhan siswa pada-hal dalam kelas itu tingkat kemampuan siswanya berbeda-beda sehingga guru akan kesulitan dalam menentukan materi pelajaran karena menerapkan sendiri ide-ide dan mengajak siswa agar dengan menyadari dan sadar menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Namun dalam konteks ini tentu-nya guru memerlukan perhatian dan bimbingan yang ekstra terhadap siswa agar tujuan pembelajran sesuai dengan apa yang diterapakan semula.

Strategi Pengajaran yang Berasosiasi dengan CTL
·         CBSA
·         Pendekatan Proses
·         Life Skills Education
·         Authentic Instruction
·         Inquiry Based Learning
·         Problem Based Learning
·         Cooperative Learning
·         Service Learning
Lima Elemen Belajar yang Konstruktivistik
Ada lima elemen yang harus diperhatikan dalam praktek pembelajaran kontekstual, yaitu :
a.       Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge)
b.      Pemerolehan pengetahuan baru (acquiring knowledge) dengan cara mempelajari secara keseluruhan dulu, kemudian memperhatikan detailnya.
c.       Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), yakni dengan cara menyusun (1) konsep sementara (hipotesis) (2) Melakukan sharing kepada orang lain agar mendapat tanggapan (validasi) dan atas dasar tanggapan itu (3) konsep tersebut direvisi dan dikembangkan.4) Mempraktekan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge). 5) Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut.

Penerapan Pendekatan Konstektual di Kelas
Pendekatan CTL mempunyai tujuah komponen utama, yaitu : konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assesment). Sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan CTL jika menerapkan ketujuh komponen tersebut dalam pembelajarannya. Dan untuk itu melaksanakan hal itu tidak sulit. CTL dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yangbagaimanapun keadaannya. Penerapan CTL dalam konteks kelas cukup mudah. Secara garis besar langkahnya adalah sebagai berikut :
1) Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna
dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi
sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.
2) Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiri untuk semua toppik.
3) Kembangkan sifat ingin tahu sisws dengan bertanya.
4) Ciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok-kelompok)
5) Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran
6) Lakukan refleksi di akhir pertemuan.
7) Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.

B.     Pendekatan saintifik
Menurut Ine (2015:271-271) Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana dan proses belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Pendekatan scientific merupakan pendekatan dalam proses pembelajaran yang mengintegrasikan keterampilan sains yaitu mencari tahu sendiri fakta-fakta dan pengetahuan yang dikaitkan dengan materi pembelajaran. Pembelajaran saintifik merupakan pembelajaran  yang mengadopsi langkah-langkah saintis dalam membangun pengetahuan melalui metode ilmiah. Model pembelajaran yang diperlukan adalah yang memungkinkan terbudayakannya kecakapan berpikir sains, terkembangkannya “sense of inquiry” dan kemampuan berpikir kreatif siswa. Pendekatan scientific lebih menekankan kepada peserta didik sebagai subjek belajar yang harus dilibatkan secara aktif.
Metode scientific sangat relevan dengan tiga teori belajar yaitu teori Bruner, teori Piaget, dan teori Vygotsky. Teori belajar Bruner disebut juga teori belajar penemuan. Ada empat hal pokok berkaitan dengan teori belajar Bruner Pertama, individu hanya belajar dan mengembangkan pikirannya apabila ia menggunakan pikirannya. Kedua, dengan melakukan proses-proses kognitif dalam proses penemuan, siswa akan memperoleh sensasi dan kepuasan intelektual yang merupakan suatu penghargaan intrinsik. Ketiga, satu-satunya cara agar seseorang dapat mempelajari teknik-teknik dalam melakukan penemuan adalah ia memiliki kesempatan untuk melakukan penemuan. Keempat, dengan melakukan penemuan maka akan memperkuat retensi ingatan. Empat hal di atas adalah bersesuaian dengan proses kognitif yang diperlukan dalam pembelajaran menggunakan metode scientific.
Teori Piaget, menyatakan bahwa belajar berkaitan dengan pembentukan dan perkembangan skema (jamak skemata). Skema adalah suatu struktur mental atau struktur kognitif yang dengannya seseorang secara intelektual beradaptasi dan mengkoordinasi lingkungan sekitarnya. Skema tidak pernah berhenti berubah, skemata seorang anak akan berkembang menjadi skemata orang dewasa. Proses yang menyebabkan terjadinya perubahan skemata disebut dengan adaptasi. Proses terbentuknya adaptasi ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu asimilasi dan akomodasi. Vygotsky, dalam teorinya menyatakan bahwa pembelajaran terjadi apabila peserta didik bekerja atau belajar menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas itu masih berada dalam jangkauan kemampuan atau tugas itu berada dalam zone of proximal development daerah terletak antara tingkat perkembangan anak saat ini yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu. (Nur dan Wikandari, 2000:4).
Tujuan pembelajaran dengan pendekatan scientific didasarkan pada keunggulan pendekatan tersebut. Beberapa tujuan Pembelajaran dengan pendekatan scientific adalah:
·         Untuk meningkatkan kemampuan intelek, khususnya kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa.
·         Untuk membentuk kemampuan siswa dalam menyelesaikan suatu masalah secara sistematik.
·         Terciptanya kondisi pembelajaran di mana siswa merasa bahwa belajar itu merupakan suatu kebutuhan.
·         Diperolehnya hasil belajar yang tinggi.
·         Untuk melatih siswa dalam mengomunikasikan ide-ide, khususnya dalam menulis artikel ilmiah. Penerapan Pendekatan Scientific… (Maria Emanuela Ine)
·         Untuk mengembangkan karakter siswa. Suatu pengetahuan ilmiah hanya dapat diperoleh dari metode ilmiah.
Metode ilmiah pada dasarnya memandang fenomena khusus (unik) dengan kajian spesifik dan detail untuk kemudian merumuskan pada simpulan. Demikian diperlukan adanya penalaran dalam rangka pencarian (penemuan). Untuk dapat disebut ilmiah, metode pencarian (method of inquiry) harus berbasis pada bukti-bukti dari objek yang dapat diobservasi, empiris, dan terukur dengan prinsip-prinsip penalaran yang spesifik.
Oleh karena itu, penerapan pendekatan ilmiah memiliki beberapa kriteria yang harus dipenuhi di antaranya adalah sebagai berikut.
·         Materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu; bukan sebatas kira-kira, khayalan, legenda, atau dongeng semata.
·         Penjelasan guru, respon siswa, dan interaksi edukatif guru-siswa terbebas dari prasangka yang serta-merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis.
·         Mendorong dan menginspirasi siswa berpikir secara kritis, analistis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan materi pembelajaran.
·         Mendorong dan menginspirasi siswa mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu sama lain dari materi pembelajaran.
·         Mendorong dan menginspirasi siswa mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon materi pembelajaran.
·         Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggungjawabkan.
·         Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas, namun menarik sistem penyajiannya

Sumber :
Ine. 2015. Penerapan Pendekatan Scientific Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Ekonomi Pokok Bahasan Pasar. Proseding Seminar nasional.
Rosita, dkk. 2015. Penerapan Pendekatan Kontekstual Dalam Peningkatan Pembelajaran Ipa Pada Siswa Kelas Vi Sdn 2 Kalirejo Kecamatan Karanggayam Tahun Ajaran 2014/2015.Vol 05. No. 01.



Menganalisis Komponen Pembelajaran


STRATEGI BELAJAR MENGAJAR FISIKA
 “Menganalisis Komponen Pembelajaran”

Dosen Pengampu :

Drs. M. Hidayat, M.Pd

Nama : Bs. Dita Fitri
Nim : A1C317054
Kelas : Reguler A




PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA
JURUSAN PENDIDIKAN MATERMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2018


A.    Krakteristik Siswa
1.      Perkembangan Anak
Ada beberapa Tahap perkembangan anak menurut para ahli yaitu:
a.       Jean Jacques Rousseau, Tahap perkembangan anak ada 4 yaitu:
-          Masa bayi infancy (0-2 tahun). Dimana Pertumbuhan fisik lebih dominan
-           2) Masa anak / childhood (2-12 tahun) dimana Berkembangnya kemampuan pada anak untuk berbicara, berpikir, intelektual, moral, dll. 
-          3) Masa remaja awal / pubescence (12-15 tahun) Perkembangan pada anak pesat baik intelektual maupun kemampuan bernalar
-          4) Masa remaja / adolescence (15-25 tahun) dimana, perkembangan pesat pada aspek seksual, social, moral, dan nurani
b.      Stanley Hard, Perubahan menuju dewasa terjadi dalam sekuens (urutan) yang universal bagian dari proses evolusi, parallel dengan perkembangan psikologis, namun demikian, faktor lingkungan dapat mempengaruhi cepat lambatnya perubahan tsb.
Tahap perkembangan:
1) Masa kanak-kanak / infancy (0-4 tahun)
Perkembangan anak disamakan dengan binatang, yaitu melata atau berjalan. 
2) Masa anak / childhood (4-8 tahun)
Anak haus akan pemahaman lingkungannya, sehingga akan berburu kemanapun, mempelajari lingkungan sekitarnya.
3) Masa puber / youth 8-12 tahun)
Anak tumbuh dan berkembang tetapi sbg makhluk yang belum beradab
4) Masa remaja / adolescence (12 – dewasa)
Pada masa ini, anak mestinya sudah menjadi manusia beradab yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan dunia yang selalu berubah.
2.      Perkembangan Kognitif
Perkembangan kongnitif meliputi perubahan pada aktivitas mental yang berhubungan dengan persepsi, pemikiran, ingatan, keterampilan berbahasa, dan pengolahan informasi yang memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan, memecahkan masalah, dan merencanakan masa depan, atau semua proses psikologi yang berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari, memperhatikan, mengamati, membayangkan, memperkirakan, menilai dan memikirkan lingkungannya. Periode yang dimulai pada usia 12 tahun, yaitu yang lebih kurang sama dengan usia peserta didik  SMP, merupakan ‘period of formal operation’.
Pada usia ini, yang berkembang pada peserta didik  adalah kemampuan berfikir secara simbolis dan bisa memahami sesuatu secara bermakna (meaningfully) tanpa memerlukan objek yang konkrit atau bahkan objek yang visual.
Peserta didik  telah memahami hal-hal yang bersifat imajinatif. Implikasinya dalam pembelajaran, bahwa belajar akan bermakna kalau input (materi pelajaran) sesuai dengan minat dan bakat peserta didik.
Pembelajaran  akan berhasil kalau penyusun silabus dan guru mampu menyesuaikan tingkat kesulitan dan variasi input dengan harapan serta karakteristik peserta didik  sehingga motivasi belajar mereka berada pada tingkat maksimal.
Tujuh kecerdasan Multiple Intelligences dlm perkembangan Kognitif yaitu:
1)      kecerdasan linguistik (kemampuan berbahasa yang fungsional),
2)      kecerdasan logis-matematis (kemampuan berfikir runtut),
3)      kecerdasan musikal (kemampuan menangkap dan menciptakan pola nada dan irama),
4)      kecerdasan spasial (kemampuan membentuk imaji mental tentang realitas),
5)      kecerdasan kinestetik-ragawi (kemampuan menghasilkan gerakan motorik yang halus),
6)      kecerdasan intra-pribadi (kemampuan untuk mengenal diri sendiri dan mengembangkan rasa jati diri),
7)      kecerdasan antarpribadi (kemampuan memahami orang lain).
Tahap Perkembangan Kognitif menurut Jean Piaget yaitu ada 4:
a.       Tahap sensorimotorik (0-2 tahun). Kemampuan anak terbatas pada gerak-gerak reflex, bahasa awal, dan ruang waktu sekarang saja.
b.      Tahap praoperasional (2-4 tahun) . Pada tahap praoperasional, atau prakonseptual, atau disebut juga dengan masa intuitif, anak mulai mengembangkan kemampuan menerima stimulus secara terbatas. Kemampuan bahasa mulai berkembang, pemikiran masih statis, belum dapat berpikir abstrak, dan kemampuan persepsi waktu dan ruang masih terbatas.
  1. Tahap operasional konkrit (7-11 tahun) Tahap ini juga disebut masa performing operation. Pada masa ini, anak sudah mampu menyelesaikan tugas-tugas menggabungkan, memisahkan, menyusun, menderetkan, melipat, dan membagi.
  2. Tahap operasional formal (11-15 tahun) Tahap ini juga disebut masa proportional thinking. Pada masa ini, anak sudah mampu berpikir tingkat tinggi, seperti berpikir secara deduktif, induktif, menganalisis, mensintesis, mampu berpikir secara abstrak dan secara reflektif, serta mampu memecahkan berbagai masalah.


3.      Perkembangan Moral Kognitif
Perkembangan moral kognitif menurut Lawrence Kohlberg, Kemampuan kognitif moral seseorang dapat diukur dengan menghadapkannya dengan dilemma moral hipotesis yang berkaitan dengan kebenaran, keadilan, konflik terkait aturan dan kewajiban moral.Menurut Kohlberg perkembangan kognitif anak terdiri atas 3 yaitu
a.       Preconventional moral reasoning
-          Obedience and paunisment orientation
Pada tahap ini, orientasi anak masih pada konsekuensi fisik dari perbuatan benar-salahnya,hukuman dan kepatuhan
-          Naively egoistic orientation
Pada tahap ini, orientasi pada instrument relative.
b.      Conventional moral reasoning
-          Good boy Orientation
Pada tahap ini, orientasi perbuatan yang baik adalah yang menyenangkan, membantu, atau disepekati oleh orang lain.
-          Authority and social order maintenance orientation
Pada tahap ini orientasi anak adalah pada aturan dan hukum. Hukum dan perintah penguasa adalah mutlak dan final.
c.       Post conventional moral reasoning
-          Contractual legalistic orientation
Pada tahap ini, orientasi anak pada legalitas kontrak sosial. Anak mulai peduli pada hak asasi individu, dan yang baik.
-          Conscience or principle orientation
Pada tahap ini, orientasi adalah prinsip-prinsip ertika yang bersifat universal.
4.      Perkembangan fisik siswa.
Menurut Prastywan (2011:55-56) Perkembangan motor (fisik) siswa Perkembangan motor (motor development), yakni proses perkembangan yang progresif dan berhubungan dengan perolehan aneka ragam keterampilan fisik anak (motor skills). Terdapat empat macam faktor yang mendorong kelanjutan perkembangan motor skills anak yang juga memungkinkan campur tangan orang tua dan guru dalam mengarahkannya. Keempat faktor itu sebagai berikut:
a.       Pertumbuhan dan perkembangan sistem syaraf
Pertumbuhan dan perkembangan kemampuannya membuat intelegensi (kecerdasan) anak meningkat dan menibulkan pola tingkah laku yang baru. Semakin baik perkembangan kemampuan sistem syaraf seorang anak akan semakin baik dan beragam pula pola-pola tingkah laku yang dimilikinya. Akan tetapi organ sitem syaraf ini lain dari yang lain, karena apabila rusak tidak dapat diganti atau tumbuh lagi.
b.      Pertumbuhan otot-otot
Otot merupakan jaringan sel-sel yang dapat berubah memanjang dan juga sekaligus merupakan unit atau kesatuan sel yang memiliki daya mengkerut. Diantara fungsi-fungsi pokoknya adalah sebagai pengikat organ-organ lainnya dan sebagai jaringan pembuluh yang mendistribusikan sari makanan. Peningkatan tegangan otot anak dapat menimbulkan perubahan dan peningkatan aneka ragam kemampuan dan kekuatan jasmaninya. Perubahan ini sangat tampak dari anak yang sehat dari tahun ke tahun dengan semakin banyaknya keterlibatan anak tersebut dalam permainan yang bermacam-macam atau dalam membuat kerajinan tangan yang semakin meningkat kualitas dan kuantitasnya dari masa ke masa.
c.       Perkembangan dan pertumbuhan fungsi kelenjar endokrin.
Kelenjar adalah alat tubuh yang mengahasilkan cairan atau getah, seperti kelenjar keringat. Perubahan fungsi dari kelenjar-kelenjar endokrin akan mengakibatkan berubahnya pola sikap dan tingkah laku seorang remaja terhadap lawan jenisnya. Perubahan ini dapat berupa seringnya bekerja sama dalam belajar atau beolah raga, perubahan pola perilaku yang bermaksud menarik perhatian lawan jenis, berubahnya gaya dandanan/penampilan dan lain-lain.
d.      Perubahan struktur jasmani
Semakin meningkat usia anak maka akan semakin menigkat pula ukuran tinggi dan bobot serta proporsi tubuh pada umumnya. Perubahan jasmani ini akan banyak berpengaruh terhadap perkembangan kemampuan dan kecakapan motor skills anak. Pengaruh perubahan fisik seorang siswa juga tampak pada sikap dan perilakunya terhadap orang lain, karena perubahan fisik itu sendiri mengubah konsep diri (self-concept) siswa tersebut.
5.      Perkembangan Emosi Siswa
Campos mendefinisikan emosi sebagai perasaan atau afeksi yang timbul ketika seseorang berada dalam suatu keadaan yang dianggap penting oleh individu tersebut. Emosi diwakilkan oleh perilaku yang mengekspresikan kenyamanan atau ketidaknyamanan terhadap keadaan atau interaksi yang sedang dialami. Emosi dapat ber bentuk rasa senang, takut, marah, dan sebagainya.
Karekteristik emosi pada anak itu antara lain; (1) Berlangsung singkat dan berakhir tiba-tiba; (2) Terlihat lebih hebat atau kuat; (3) Bersifat sementara atau dangkal; (4) Lebih sering terjadi; (5) Dapat diketahui dengan jelas dari tingkah lakunya, dan (6) Reaksi mencerminkan individualitas. Emosi dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu, emosi positif maupun negatif. Santrock mengungkapkan bahwa emosi dipengaruhi oleh dasar biologis dan juga pengalaman masa lalu. Terutama ekspresi wajah dari emosi, disini dituliskan bahwa emosi dasar seperti bahagia, terkejut, marah, dan takut memiliki ekspresi wajah yang sama pada budaya yang berbeda (Nurmalitasari, 2015:105-106)
6.      Karakteristik Siswa
Guru yang memiliki peran sentral dalam pembelajaran secara langsung diharuskan untuk mengetahui karakteristik atau keadaan yang sebenarnya terjadi pada siswa. Dengan demikian, guru dapat mengantisipasi juga mengatasi adanya pengaruh buruk yang mungkin muncul dan berakibat negatif bagi pembelajaran. Identifikasi terhadap keadaan dan kondisi siswa baik untuk masing-masing individu maupun keseluruhan mutlak diperlukan yang digunakan untuk pengambilan langkah dan perlakuan terutama pemilihan strategi, model, media, dan komponen penyusun pembelajaran lainnya.
terdapat beberapa hal karakteristik atau keadaan yang ada pada siswa yang perlu diperhatikan guru yaitu:
-          Karakteristik atau keadaan yang berkenaan dengan kemampuan awal siswa. Misalnya adalah kemampuan intelektual, kemampuan berpikir, dan lain-lain.
-          Karakteristik atau keadaan siswa yang berkenaan dengan latar belakang dan status sosial.
-          Karakteristik atau keadaan siswa yang berkenaan dengan perbedaan-perbedaan kepribadian seperti sikap, perasaan, minat, dan lain-lain.
-          Terjadinya ketidakseimbangan proposi tinggi dan berat badan.
-          Mulai timbulnya ciri – ciri seks sekunder
-          Kecenderungan ambivalensi, antara keinginan untuk bebas dari dominasi dengan keinginan bergaul, serta keinginan untuk bebas dari dominasi kebutuhan bimbingan dan bantuan dari orang tua
-          Senang membandingkan kaedah – kaedah, nilai – nilai etika atau norma dengan kenyataan yang terjadi dalam kehidupan orang dewasa
-          Terjadinya ketidakseimbangan proposi tinggi dan berat badan.
-          Mulai timbulnya ciri – ciri seks sekunder
-          Kecenderungan ambivalensi, antara keinginan untuk bebas dari dominasi dengan keinginan bergaul, serta keinginan untuk bebas dari dominasi kebutuhan bimbingan dan bantuan dari orang tua
-          Senang membandingkan kaedah – kaedah, nilai – nilai etika atau norma dengan kenyataan yang terjadi dalam kehidupan orang dewasa.
B.     Karakteristik Pembelajaran
Menurut Shafa (2017:6-7) Karakteristik pembelajaran pada setiap satuan pendidikan terkait erat pada Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi. Standar Kompetensi lulusan memberikan kerangka konseptual tentang sasaran pembelajaran yang harus dicapai. Standar Isi memberikan kerangka konseptual tentang kegiatan belajar dan pembelajaran yang diturunkan dari tingkat kompetensi dan ruang lingkup materi. Sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan, sasaran pembelajaran mencakup pengembangan ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dielaborasi untuk setiap satuan pendidikan. Ketiga sasaran pendidikan ini sesungguhnya lebih dikenal dengan domain pembelajaran. Terjadi perbedaan tentang berapa domain pembelajaran ini. Menurut Gage dan Briggs, ada lima ranah atau domain yang terkait dengan sasaran pembelajaran yaitu intelectual skill, cognitives strategies, verbalinformation, motor skill and attitudes.
 Berbeda dengan Bloom, ia mengemukakan ada tiga domain atau sasaran tujuan yaitu domain afektif, domain kognitif dan domain psikomotorik. Domain afektif memiliki lima tingkatan yaitu menerima, merespon, menilai, mengorganisasi nilai, dan karakterisasi nilai-nilai. Domain afektif memiliki enam tingkatan yaitu mengetahui, memahami, menerapkan, menganalisis, mensintesis dan mengevaluasi. Domain psikomtorik memiliki enam jenjang yaitu gerakan refleks, gerakan dasar, kecakapan mengamati, kecakapan jasmani, gerakan keterampilan dan komunikasi yang berkesinambungan.
Tampaknya ketiga ranah kompetensi tersebut diadopsi oleh kurikulum 2013 dengan beberapa inovasi pada setiap domain dengan hirarki aktivitas yang dikembangkan. Hal ini terlihat pada domain sikap yang diperoleh melalui aktivitas“ menerima, menjalankan, menghargai, menghayati, dan mengamalkan”. Domain pengetahuan diperoleh melalui aktivitas“ mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, mencipta. Domain keterampilan diperoleh melalui aktivitas“ mengamati, menanya, mencoba, menalar, menyaji, dan mencipta”. Menurut analisis penulis, terdapat hal yang baru pada tingkatan keterampilan dan pengetahuan pada kurikulum 2013 yaitu kegiatan mencipta pada domain pengetahuan dan menalar, menyaji, dan mencipta pada domain keterampilan.
Karaktersitik kompetensi beserta perbedaan lintasan perolehan turut serta mempengaruhi karakteristik standar proses. Untuk tujuan tersebut, maka kurikulum 2013 memperkuat pembelajarannya dengan pendekatan ilmiah (scientific), tematik terpadu (tematik antar mata pelajaran), dan tematik (dalam suatu mata pelajaran). Selain itu, kurikulum 2013 juga menerapkan pembelajaran berbasis penyingkapan atau penelitian (discovery/inquiry learning), pembelajaran yang mendorong kemampuan peserta didik untuk menghasilkan karya kontekstual, baik individual maupun kelompok dengan menggunakan pendekatan pembelajaran yang menghasilkan karya berbasis pemecahan masalah (project based learning).
C.     Tujuan Pembelajaran dalam pelajaran fisika
1.      Tujuan Pembelajaran
Menurut Sayamsul Hidayat (2015:3) Meski para ahli memberikan rumusan tujuan pembelajaran yang beragam, tetapi semuanya menunjuk pada esensi yang sama, bahwa : (1) tujuan pembelajaran adalah tercapainya perubahan perilaku atau kompetensi pada siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran; (2) tujuan dirumuskan dalam bentuk pernyataan atau deskripsi yang spesifik. Yang menarik untuk digarisbawahi yaitu dari pemikiran Kemp dan David E. Kapel bahwa perumusan tujuan pembelajaran harus diwujudkan dalam bentuk tertulis.
Hal ini mengandung implikasi bahwa setiap perencanaan pembelajaran seyogyanya dibuat secara tertulis (written plan). Upaya merumuskan tujuan pembelajaran dapat memberikan manfaat tertentu, baik bagi guru maupun siswa. Nana Syaodih Sukmadinata mengidentifikasi 4 (empat) manfaat dari tujuan pembelajaran, yaitu: (1) memudahkan dalam mengkomunikasikan maksud kegiatan belajar mengajar kepada siswa, sehingga siswa dapat melakukan perbuatan belajarnya secara lebih mandiri; (2) memudahkan guru memilih dan menyusun bahan ajar; (3) membantu memudahkan guru menentukan kegiatan belajar dan media pembelajaran; (4) memudahkan guru mengadakan penilaian.
Dalam Permendiknas RI No. 52 Tahun 2008 tentang Standar Proses disebutkan bahwa tujuan pembelajaran memberikan petunjuk untuk memilih isi mata pelajaran, menata urutan topik-topik, mengalokasikan waktu, petunjuk dalam memilih alat-alat bantu pengajaran dan prosedur pengajaran, serta menyediakan ukuran (standar) untuk mengukur prestasi belajar siswa.
2.      Tujuan Pembelajaran dalm pelajaran fisika
Menurut Alfiani (2015:1-2) Tujuan pembelajaran fisika yang tertuang di dalam kerangka Kurikulum 2013 ialah menguasai konsep dan prinsip serta mempunyai keterampilan mengembangkan pengetahuan dan sikap percaya diri sebagai bekal untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (Kemdikbud, 2014). Berdasarkan tujuan pembelajaran tersebut maka penyelenggaraan mata pelajaran fisika di tingkat SMA/MA harus menjadi wahana atau sarana untuk melatihkan para siswa agar dapat menguasai pengetahuan, konsep, dan prinsip fisika. Dalam prosesnya pembelajaran fisika bukan hanya menekankan pada penguasaan konsep saja (konten) tetapi juga seyogyanya mengandung keempat hal yaitu konten atau produk, proses atau metode, sikap, dan teknologi sehingga pemahaman siswa terhadap fisika menjadi utuh dan dapat berguna untuk mengatasi permasalahanpermasalahan yang dihadapinya
Untuk menyelesaikan permasalahan, siswa perlu pemahaman konsep yang benar sesuai dengan aturan yang relevan yaitu sesuai dengan ilmiah. Untuk membangun konsep, diperlukan keselarasan antar fakta-fakta dan konsep-konsep dasar yang dimiliki siswa sehingga konsep tersebut dapat terbangun secara sistematis dan utuh. Keselarasan antar konsep-konsep dasar yang dimiliki siswa seringkali dipengaruhi oleh pemahaman awal yang diperoleh siswa sebelum memasuki pembelajaran di kelas. Namun, pemahaman awal tersebut seringkali bertentangan dengan konsep yang dikemukakan para ilmuan. Kondisi tersebut disebut dengan miskonsepsi. Miskonsepsi adalah konsep yang digunakan tidak benar tetapi disertai dengan data atau fakta yang terjadi (dialami sendiri oleh siswa). Miskonsepsi adalah suatu konsepsi yang diyakini kuat dan merupakan suatu struktur kognitif yang melekat dengan kuat dan stabil dibenak siswa yang sebenarnya menyimpang dari konsepsi yang dikemukakan para ahli. Miskonsepsi yang dialami oleh siswa akan menghambat pada proses penerimaan pengetahuan konsep baru. Oleh karena itu, miskonsepsi perlu dikurangi atau direduksi sehingga tidak tertanam kuat dalam benak pemikiran siswa.
D.    Assement pembelajaran
Pengertian ASSESSMENT  Menurut para ahli:
-           WALLACE & LONGLIN 1979, Suatu proses sistematis dengan menggunakan instrumen yg sesuai untuk mengetahui perilaku belajar, penempatan, dan pembelajaran. 
-          ROSENBERG 1982, Suatu proses pengumpulan informasi yang akan digunakan utk membuat pertimbangan dan keputusan yang berkaitan dengan anak. 
-          ROBERT M. SMITH 2002, Suatu penilaian yang komprehensif dan melibatkan anggota tim untuk mengetahui kelemahan dan kekuatan anak, yang mana hasil keputusannya dapat digunakan untuk menentukan layanan pendidikan yang dibutuhkan anak sebagai  dasar utk menyusun suatu rancangan pembelajaran
-          James A Mc. Lounghlin & Rena B Lewis 1986 Proses sistematis dalam mengumpulkan data seorang anak yamg berfungsi untuk melihat kemampuan dan kesulitan yang dihadapi seseorang saat itu, sebagai bahan untuk menentukan apa yang sesungguhnya dibutuhkan. Berdasarkan informasi tersebut, guru akan dapatt menyusun program pembelajaran yang bersifat realistis sesuai dengan kenyataan obyektif.
Sumber:
Alfiani. 2015. Pengaruh Penerapan Cmaptools Pada Model Pembelajaran Elicit-Confrontidentify- Resolve-Reinforce (Ecirr) Terhadap Konsistensi Konsepsi Siswa Sma Dan Penurunan Kuantitas Siswa Miskonsepsi Pada Materi Suhu Dan Kalor.Bandung :UPI
Nurmalitasari. 2015. Perkembangan Sosial Emosi pada Anak Usia Prasekolah. Buletin Psikologi. Vol. 03 NO 02. ISSN : 0854-7108.

Prastywan. 2011. Perkembangan Psiko-Fisik Siswa. Vol 01. Nomor 01.

Web:
Hidayat, S. 2015. Tujuan Pembelajaran Sebagai Komponen Penting Dalam Pembelajaran. http://103.28.23.163/wp-content/uploads/2015/01/Tujuan-Pembelajaran-sebagai-komponen-penting.pdf





MATERI SISTEM EKSKRESI KELAS 8 IPA